Seekor kucing yang malang. Begitu ia membuka matanya, melihat dunia untuk pertama kalinya, ia sudah hidup sebatang kara. Sang induk tidak berada di sampingnya. Entah perg ke mana. Namun, anak kucing ini tidak lantas menyerah. Dengan gigih ia mencari sang induk. Ia tidak tahu rupa induknya, apakah sama rupanya dengan dirinya ? ataukah memiliki rupa yang lain ? Sejak itu, ia pergi mengembara. Mencari jati dirinya dan juga induknya. Di dalam pengembaraannya, anak kucing ini banyak menemui tantangan. Tapi, berbekal keyakinan dan kesabaran, ia mampu menaklukkan itu semua. Keprihatinan tidak lantas membuatnya patah arang, ia begitu bersemangat. Malam merayap pelan. Sejenak, anak kucing beristirahat. Perutnya tidak kelaparan, karena tadi siang ia menemukan makanan. Malam sedang purnama, anak kucing tidak dapat memejamkan mata. Matanya menerawang rembulan yang tersenyum manis padanya.
"Apakah rembulan itu indukku ?"
Anak kucing begitu mengagumi rembulan. Cahayanya begitu terang menyinari gelapnya malam. Tidak lama kekecewaan menyergapnya. Sang bulan tertutup segerombolan awan. Kekagumannya kini beralih ke awan.
"Duhai, perkasa sekali awan ini. Mereka mampu mengalahkan bulan yang bercahaya terang. Ingin sekali aku jadi bagian dari mereka."
Belum puas anak kucing memuji-muji awan, matanya kembali terbelalak. Gumpalan awan tersebut kocar-kacir tertiup angin. Kembali ia menelan kekecewaan.
"Apa jadinya aku jika jadi bagian dari awan itu ? tentu aku akan hancur tanpa rupa."
Anak kucing beralih kagum kepada angin. Ia kemudian berangan-angan untuk terbang bersama angin. Terbang jauh meninggalkan nasibnya yang kini tak menentu. Akan tetapi, kekagumannya terhadap angin yang mampu memorak-morandakan awan, seketika itu juga sirna. Disaksikannya bukit yang tetap menjulang kokoh meski diterpa angin. Penyesalan pun datang. Ia lalu menaiki bukit itu.
"Alangkah kokoh bukit ini. Kalau aku memiliki tubuh sekuat dan sekokoh ini, tentu aku akan menjadi makhluk paling kuat di dunia."
Anak kucing yang tengah larut dalam lamunannya terkejut. Dari satu arah, terdengar derap lari binatang-binatang besar. Benar saja, dari kejauhan terlihat beberapa ekor kerbau lari ke arah bukit. Jumlah mereka mencapai sepuluh ekor. Namun, sampai di atas bukit mereka ambruk. Ambruk karena secara bersamaan mereka terjatuh, terperosok. Menyebabkan bukit itu rengkah-rengkah tanahnya. Anak kucing ternganga.
"Kerbau yang terikat ini mampu menghancurkan bukit, apalagi jika mereka tidak terikat"
Namun, baru saja anak kucing ingin mengalihkan kekagumannya paa kerbau, kekecewaan telah lebih dulu menyerangnya. Kerbau-kerbau tersebut tidak mampu melepaskan diri dari jeratan tali yang mengikat mereka. Mereka terjerat hingga tak bisa bangun. Anak kucing merasa terkejut ketika perlahan-lahan mereka mampu bangkit. Mereka bangkit karena tali yang mengekang mereka berhasil putus. Akan tetapi, kekaguman anak kucing tidak lantas kembali pada kerbau. Ia kini mengagumi seekor tikus. Ya, binatang pengerat itulah yang melepaskan beberapa ekor kerbau yang sedang terikat. Dengan giginya yang tajam, tikus itu sedikit demi sedikit menggigit tali hingga putus. Anak kucing tersenyum riang. Ia kagum dengan ketangkasan dan kemampuan tikus, meski ia bertubuh kecil. Akan tetapi, kembali menelan kekecewaan. Tikus itu diterkam sesosok binatang. Setelah diperhatikan anak kucing, binatang itu memiliki rupa yang mirip dengannya. Binatang itu lama menatap anak kucing dengan tikus berada di mulutnya. Anak kucing menggigil ketakutan, takut diterkam juga. Tiba-tiba, binatang itu mengeong. Anak kucing juga mengeong.
"Inikah ibuku ?"
Serta-merta, tanpa diduga anak kucing sebelumnya, binatang yang mirip dengannya itu merangkulnya. Kini mengertilah ia, bahwa binatang itu adalah ibunya. Anak kucing itu kagum pada ibunya. Tentu saja kagum terhadap dirinya sendiri. Pengembaraannya telah membuahkan hasil. Kini ia telah berkumpul bersama ibunya.